Siang-Malam buat ANBTI

Minggu, 13 Juli 2008

SIAPA perempuan ini? Dialah Nia Sjarifudin alias "Ninoy NGO". Dia salah satu aktifis Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) yang terbilang sibuk. Urusannya mulai dari menyusun proposal, mengkoordinasi jaringan dengan para SC, serta menggalang kekuatan di luar ANBTI. Sebagai koordinator OC, Nia tak perlah lelah, dari bangun tidur hingga menjelang tidur, selalu ANBTI ada di kepalanya. Tidaklah berlebihan, sebab, "Kita ini lagi memperjuangkan keutuhan negara-bangsa Indonesia berdasarkan keberagaman budaya dan konstitusi," katanya. Selamat berjuang! (*)

FULL STORY >>

Catatan Pertemuan Komunitas Adat ANBTI

Sabtu, 12 Juli 2008

Menjaga Alam, Mengabdi Tuhan
Oleh T. WIJAYA

“Setiap yang kami lakukan semata untuk Tuhan Yang Maha Esa. Kami menjaga ikan-ikan di laut, menjaga karang-karang di laut, menjaga persaudaraan kami, semata untuk Tuhan,” kata Sandhy Mamalanggo dari komunitas adat Musi, Sulawesi Utara, saat menjelaskan komunitasnya di hadapan 18 perwakilan komunitas adat lainnya, ketika mengikuti workshop di Villa Eden, Kaliurang, Yogyakarta, yang diselenggarakan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) 1-7 Juli 2008 lalu.
“Kami juga demikian. Hampir setiap perilaku kami adalah ritual untuk Tuhan Yang Maha Esa. Mulai dari kelahiran, berladang, hingga kematian,” jelas Mosom dari komunitas adat Dayak.
Seperti gayung bersambut, perwakilan komunitas adat lainnya juga mengakui hal yang sama. “Alam adalah sebuah keseimbangan, perlu dijaga. Manusia harus berperan menjaga keseimbangan itu. Itulah tujuan Tuhan menciptakan manusia,” Emanuel Un Bria dari Lembaga Adat Liuvai Timor.
Hanya, persoalan mulai muncul ketika para investor mulai memasuki tanah adat mereka. “Pada wilayah kami, kini banyak sekali orang asing yang masuk. Mereka mendapat dukungan dari pemerintah setempat. Dalilnya buat melakukan penelitian, tapi masyarakat resah sebab kondisi laut mulai tidak stabil,” kata Sandhy Mamalanggo.
Sementara Mosom sangat khawatir dengan langkah para investor di Kalimantan, seperti pertambangan dan perkebunan, akan memusnahkan keberadaan komunitas adat Dayak. “Terus-terang kehidupan kami sudah hancur. Kami tidak antipendatang, tapi mereka sudah menghabisi kami. Kami kini mencoba bertahan dengan apa yang tersisa,” kata Mosom.

Tuhan Marah
Mengenai keberadaan Indonesia yang kian terpuruk, para perwakilan komunitas adat itu menilai lantaran pemerintah tidak pernah mendengar suara dari komunitas adat. Misalnya pemerintah terus memberikan ruang yang besar bagi para investor buat mengeksploitasi sumber daya alam di Indonesia, tanpa mempertimbangkan kearifan lokal yang ada.
“Coba kalau pemerintah mendengar apa yang disuarakan komunitas adat, mungkin Indonesia tidak terpuruk seperti sekarang ini,” kata Melvin Katoppo dari komunitas agama Walesung, Sulawesi Utara.
Adapun yang harus didengar pemerintah dari komunitas adat, kata Melvin, yakni kepercayaan atau sistem komunitas adat dalam mengelola sumber daya alam, serta menghargai sistem atau cara mereka mengabdi Tuhan. “Jangan dirusak dengan cara lain, sehingga kami marah, begitupun alam,” kata Melvin.
Melvin pun mencemaskan adanya sejumlah politikus yang mencoba menyeragamkan budaya dan kepercayaan pada masyarakat Indonesia. Menurutnya, jika ini terus diupayakan para politikus itu, bukan tidak mungkin Indonesia akan bubar. “Tuhan marah,” katanya.
Maka, ke depan, kata Muharam Puang Lolo dari komunitas adat Bissu, Sulawesi Selatan, pemerintah Indonesia harus lebih menghargai keberagaman budaya yang ada di Indonesia. Menghormati bagaimana mereka memperlakukan alam, dan membangun sistem sosialnya. Jangan mengambil kebijakan yang membuat komunitas adat menjadi rusak atau musnah. Sebab komunitas adat-lah yang masih menjaga keseimbangan alam.

Komunikasi Budaya
Meskipun kecewa, para perwakilan komunitas adat itu masih mempercayai dan mendukung keberadaan Republik Indonesia. Hanya, mereka menginginkan pemerintah Indonesia harus menata ulang konsep pembangunannya. Konsep pembangunan yang berpihak pada kebhinekaan, yang selama berabad-abad telah membentuk kebudayaan nusantara ini.
“Indonesia ini dilahirkan komunitas adat. Komunitas adat lahir jauh sebelum Indonesia lahir. Jadi, kalau pemerintah terus melakukan berbagai kebijakan yang menghancurkan komunitas adat, maka yang hancur adalah negara ini,” kata Hemmy Koapaha dari komunitas adat Minahasa.
Tetapi, menariknya, sambil menunggu perubahan karakter pembangunan yang dijalankan pemerintah Indonesia, ke-19 perwakilan komunitas adat itu sepakat melakukan komunikasi budaya sebagai strategi menyelamatkan keberagaman budaya Indonesia. Bentuk komunikasi budaya yang akan diambil yakni dengan cara mengaktualkan komunitas adat melalui penulisan, foto, dan film, menggunakan media massa maupun internet. Menariknya, penulis maupun pembuat film dilakukan oleh komunitas adat itu sendiri. “Selama ini sudah banyak pihak yang mengaktualkan diri kami, tapi posisi kami hanya sebagai objek. Banyak hal yang belum terungkap seutuhnya,” kata Ikah Kartika dari komunitas adat Karuhun Urang Cigugur.
“Jangan heran dalam beberapa bulan ke depan, meskipun keberadaan kami jauh dari kota, semua orang dapat menyaksikan keberadaan kami melalui internet,” kata Lefmanut dari komunitas adat Tanimbar Kei, Maluku, yang selama sepekan bersama teman-temannya mengikuti workshop penulisan, pembuatan film, serta budaya, guna mewujudkan mimpi tersebut.
Ke-19 komunitas yang masih peduli dengan Indonesia itu adalah Dayak Siang (Kalimantan), Dayak Ma’Anyan (Kalimantan), Kejawen/Kebudayaan Jawa (Yogyakarta), Cirendeu (Jawa Barat), Cigugur (Kuningan-Jawa Barat), Kajang (Sulawesi Selatan), Talotang (Sulawesi Selatan), Bissu (Sulawesi Selatan), Musi (Sulawesi Utara), Malesung (Sulawesi Utara), Talaud (Sulawesi Utara), Sonafnaineno (NTT), Lopo Timor (NTT), As Manulea (NTT), Tanimbar Kei (Tual-Maluku), Naulu-Seram (P. Seram-Maluku), Sawang (Belitung), Dewan Adat Papua (Sorong, Wamena, Jaya Pura), serta Anak Rimba (Jambi).
Demikianlah Tuhan telah memberi jalan bagi komunitas adat buat menjaga dirinya, dan menyelamatkan Indonesia. [*]

FULL STORY >>

Semua Lelah, Semua Nikmat

Jumat, 11 Juli 2008




DALAM hajatan Aliansi Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) 1-7 Juli 2008 lalu, semuanya lelah. Tidak ada satu pun sehat. Mulai dari peserta, pendamping, fasilitator, hingga para "bunda". Inilah bukti bahwa membangun Indonesia yang beragam dan menjunjung konstitusi tidaklah gampang. Foto-foto di atas, merupakan sebagian bukti kelelahan yang membawa nikmat. (*)

FULL STORY >>

Pejuangku, Terimakasih

SIAPA yang tak kenal Ellen Pitoy? Inilah tokoh dibalik kerja besar ANBTI beberapa hari lalu. Tentunya di luar para SC dan panpel lainnya yang juga telah bekerja keras. Perempuan yang kalau ngomong "bernada cepat" ini, sibuk ngurusi apa saja. Mulai dari melayani peserta, fasilitator mengenai kamar tidur, hingga mengurusi tiket pesawat dan rumah sakit bagi ada peserta yang sakit. Luar biasa. Terlepas dari sedikit kekurangannya, kita pantas mengucapkan terima kasih kepada perempuan pejuang yang tak pernah menampakkan kemarahan ini. Hanya Tuhan yang pantas membalas segala perjuangan dan kebaikanmu, kawan. O, ya, jangan pernah jera mengurusi Indonesia kita ini.(*)

FULL STORY >>

Para Pejuang Komunitas Adat

Kamis, 10 Juli 2008






INILAH para pejuang komunitas adat, yang tetap bersatu mempertahankan Indonesia sebagai sebuah keberagaman budaya yang dilindungi konstitusi. Selama berhari-hari, mereka berdialog, berdiskusi mengenai masa depan Indonesia.(*)

FULL STORY >>

Komunitas Adat Kuliah Umum di Kaliurang






SETELAH bertemu dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X, besoknya, 3 Juli 2008, para komunitas adat bersama pendampingnya menuju Kaliurang, Yogyakarta. Di sana, sebelum melakukan workshop mereka menerima kuliah umum mengenai antropologi budaya dan komunikasi. (*)

FULL STORY >>

Komunitas Adat Dialog dengan Sultan Hamengku Buwono X






HARI pertama berada di Yogyakarta, sebelum melakukan sejumlah pembekalan dalam workshop di Kaliurang, Yogyakarta, para pimpinan, tokoh, dan raja, dari komunitas adat di Nusantara, melakukan dialog dengan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, di kantor Gubernur DI Yogyakarta, 2 Juli 2008. Sebelum berdialog mereka melakukan kunjungan ke Keraton Yogyakarta.
Dalam dialog itu para komunitas adat mengeluhkan soal adanya sejumlah bentuk kekerasan yang mengatasnamakan keyakinan, dan menurunnya nilai keberagaman budaya dalam kesadaran para pemimpinan nasional. Sri Sultan Hamengku Buwono sendiri mengkhawatirkan persoalan itu. Dia menghimbau agar komunitas adat tetap bersabar dan terus berjuang dalam mempertahankan keberagaman budaya nusantara. "Jangan kita turut melakukan kekerasan," katanya. (*)

FULL STORY >>

Bertemu Anggota DPR RI






PULUHAN pimpinan, tokoh, raja, dari komunitas adat di nusantara, melakukan pertemuan dengan Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Partai Golkar di DPR RI, pada 1 Juli 2008. Sebelumnya mereka bertemu dengan anggota DPD, 30 Juni 2008. Kepada para wakil mereka itu, komunitas adat menolak RUU Pornografi yang kini tengah digodok para anggota dewan. Menurut mereka, RUU tersebut mengancam keberagaman budaya yang ada di nusantara. Bahkan, di antara mereka mengancam akan "meninggalkan" Indonesia bila RUU itu ditetapkan menjadi UU. (*)

FULL STORY >>

Para Pejuang ANBTI

Senin, 07 Juli 2008

INILAH para pejuang ANBTI yang tersebar di berbagai komunitas adat di Nusantara. Mereka berjuang bagi keberagaman yang telah membangun dan membesarkan Indonesia. Selama sepekan, 1-7 Juli 2008, mereka melakukan berbagai kegiatan di Jakarta, Yogyakarta, dan Pati. Di Jakarta, mereka melakukan pertemuan dengan anggota DPD, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Golkar, untuk menyatakan penolakan RUU Pornografi. Penolakan ini dilatarbelakangi, RUU itu mengancam keberagaman budaya pada masyarakat adat di Indonesia. Di Yogyakarta, para pejuang ANBTI ini mengadakan workshop pembuatan film di Kaliurang. Sebelumnya mereka bertemu dengan Sri Sultan Hamengkbuwono X, mengunjungi Keraton Yogyakarta, dan terakhir bertemu dengan komunitas adat Sedulur Sikep. (*)

FULL STORY >>