Catatan Pertemuan Komunitas Adat ANBTI

Sabtu, 12 Juli 2008

Menjaga Alam, Mengabdi Tuhan
Oleh T. WIJAYA

“Setiap yang kami lakukan semata untuk Tuhan Yang Maha Esa. Kami menjaga ikan-ikan di laut, menjaga karang-karang di laut, menjaga persaudaraan kami, semata untuk Tuhan,” kata Sandhy Mamalanggo dari komunitas adat Musi, Sulawesi Utara, saat menjelaskan komunitasnya di hadapan 18 perwakilan komunitas adat lainnya, ketika mengikuti workshop di Villa Eden, Kaliurang, Yogyakarta, yang diselenggarakan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) 1-7 Juli 2008 lalu.
“Kami juga demikian. Hampir setiap perilaku kami adalah ritual untuk Tuhan Yang Maha Esa. Mulai dari kelahiran, berladang, hingga kematian,” jelas Mosom dari komunitas adat Dayak.
Seperti gayung bersambut, perwakilan komunitas adat lainnya juga mengakui hal yang sama. “Alam adalah sebuah keseimbangan, perlu dijaga. Manusia harus berperan menjaga keseimbangan itu. Itulah tujuan Tuhan menciptakan manusia,” Emanuel Un Bria dari Lembaga Adat Liuvai Timor.
Hanya, persoalan mulai muncul ketika para investor mulai memasuki tanah adat mereka. “Pada wilayah kami, kini banyak sekali orang asing yang masuk. Mereka mendapat dukungan dari pemerintah setempat. Dalilnya buat melakukan penelitian, tapi masyarakat resah sebab kondisi laut mulai tidak stabil,” kata Sandhy Mamalanggo.
Sementara Mosom sangat khawatir dengan langkah para investor di Kalimantan, seperti pertambangan dan perkebunan, akan memusnahkan keberadaan komunitas adat Dayak. “Terus-terang kehidupan kami sudah hancur. Kami tidak antipendatang, tapi mereka sudah menghabisi kami. Kami kini mencoba bertahan dengan apa yang tersisa,” kata Mosom.

Tuhan Marah
Mengenai keberadaan Indonesia yang kian terpuruk, para perwakilan komunitas adat itu menilai lantaran pemerintah tidak pernah mendengar suara dari komunitas adat. Misalnya pemerintah terus memberikan ruang yang besar bagi para investor buat mengeksploitasi sumber daya alam di Indonesia, tanpa mempertimbangkan kearifan lokal yang ada.
“Coba kalau pemerintah mendengar apa yang disuarakan komunitas adat, mungkin Indonesia tidak terpuruk seperti sekarang ini,” kata Melvin Katoppo dari komunitas agama Walesung, Sulawesi Utara.
Adapun yang harus didengar pemerintah dari komunitas adat, kata Melvin, yakni kepercayaan atau sistem komunitas adat dalam mengelola sumber daya alam, serta menghargai sistem atau cara mereka mengabdi Tuhan. “Jangan dirusak dengan cara lain, sehingga kami marah, begitupun alam,” kata Melvin.
Melvin pun mencemaskan adanya sejumlah politikus yang mencoba menyeragamkan budaya dan kepercayaan pada masyarakat Indonesia. Menurutnya, jika ini terus diupayakan para politikus itu, bukan tidak mungkin Indonesia akan bubar. “Tuhan marah,” katanya.
Maka, ke depan, kata Muharam Puang Lolo dari komunitas adat Bissu, Sulawesi Selatan, pemerintah Indonesia harus lebih menghargai keberagaman budaya yang ada di Indonesia. Menghormati bagaimana mereka memperlakukan alam, dan membangun sistem sosialnya. Jangan mengambil kebijakan yang membuat komunitas adat menjadi rusak atau musnah. Sebab komunitas adat-lah yang masih menjaga keseimbangan alam.

Komunikasi Budaya
Meskipun kecewa, para perwakilan komunitas adat itu masih mempercayai dan mendukung keberadaan Republik Indonesia. Hanya, mereka menginginkan pemerintah Indonesia harus menata ulang konsep pembangunannya. Konsep pembangunan yang berpihak pada kebhinekaan, yang selama berabad-abad telah membentuk kebudayaan nusantara ini.
“Indonesia ini dilahirkan komunitas adat. Komunitas adat lahir jauh sebelum Indonesia lahir. Jadi, kalau pemerintah terus melakukan berbagai kebijakan yang menghancurkan komunitas adat, maka yang hancur adalah negara ini,” kata Hemmy Koapaha dari komunitas adat Minahasa.
Tetapi, menariknya, sambil menunggu perubahan karakter pembangunan yang dijalankan pemerintah Indonesia, ke-19 perwakilan komunitas adat itu sepakat melakukan komunikasi budaya sebagai strategi menyelamatkan keberagaman budaya Indonesia. Bentuk komunikasi budaya yang akan diambil yakni dengan cara mengaktualkan komunitas adat melalui penulisan, foto, dan film, menggunakan media massa maupun internet. Menariknya, penulis maupun pembuat film dilakukan oleh komunitas adat itu sendiri. “Selama ini sudah banyak pihak yang mengaktualkan diri kami, tapi posisi kami hanya sebagai objek. Banyak hal yang belum terungkap seutuhnya,” kata Ikah Kartika dari komunitas adat Karuhun Urang Cigugur.
“Jangan heran dalam beberapa bulan ke depan, meskipun keberadaan kami jauh dari kota, semua orang dapat menyaksikan keberadaan kami melalui internet,” kata Lefmanut dari komunitas adat Tanimbar Kei, Maluku, yang selama sepekan bersama teman-temannya mengikuti workshop penulisan, pembuatan film, serta budaya, guna mewujudkan mimpi tersebut.
Ke-19 komunitas yang masih peduli dengan Indonesia itu adalah Dayak Siang (Kalimantan), Dayak Ma’Anyan (Kalimantan), Kejawen/Kebudayaan Jawa (Yogyakarta), Cirendeu (Jawa Barat), Cigugur (Kuningan-Jawa Barat), Kajang (Sulawesi Selatan), Talotang (Sulawesi Selatan), Bissu (Sulawesi Selatan), Musi (Sulawesi Utara), Malesung (Sulawesi Utara), Talaud (Sulawesi Utara), Sonafnaineno (NTT), Lopo Timor (NTT), As Manulea (NTT), Tanimbar Kei (Tual-Maluku), Naulu-Seram (P. Seram-Maluku), Sawang (Belitung), Dewan Adat Papua (Sorong, Wamena, Jaya Pura), serta Anak Rimba (Jambi).
Demikianlah Tuhan telah memberi jalan bagi komunitas adat buat menjaga dirinya, dan menyelamatkan Indonesia. [*]

1 to “Catatan Pertemuan Komunitas Adat ANBTI”>




"Kebhinnekaan bukan hanya sebuah kebaikan tapi juga sebuah kebenaran"