Pertemuan Masyarakat Adat se Sulsel

Jumat, 12 September 2008


Sembilan komunitas adat membawa sembilan cerita berbeda pada pertemuan masyarakat adat se Sulawesi Selatan pada tanggal 28-29 Agustus 2008 di Makassar. Pertemuan yang juga dihadiri oleh Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Pak Bunyamin Bura dan Pak Yacobus Mayong Padang ini mendapat sambutan yang besar dari komunitas-komunitas adat yang datang karena mereka sangat berharap masalah diskriminasi yang mereka hadapi baik vertikal (birokrasi dengan pemerintah) dan horizontal (dengan masyarakat, misal masalah stigma sesat) dapat terselesaikan setelah sekian lama mereka dimarginalkan dalam kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Puang Matoa Saidi dari komunitas adat Bissu yang berbicara dalam bahasa Bugis Kuno sebagai pertahanan dirinya terhadap adat dan kebudayaannya mengatakan kita jangan mengingkari apa yang telah diwariskan oleh leluhur kita. Sementara Pak Yacobus Mayong Padang mengutip istilah Bung Karno yaitu jadilah orang Indonesia yang Islam bukan orang Islam yang Indonesia. Intinya kita jangan sampai kehilangan jatidiri, kita boleh Islam tapi jangan Islam Arab, kita boleh Hindu tapi jangan Hindu India dll. Dan yang lebih penting adalah jadilah ORANG INDONESIA YANG MENJUNJUNG TINGGI ADAT DAN KEBUDAYAAN NUSANTARA.
Permasalahan masyarakat adat di Sulawesi Selatan ini sangat kompleks diantaranya:
1. stigmatisasi ritual yang dilakukan oleh agama tertentu
2. tidak ada pembinaan dan perlindungan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat adat (tidak ada usaha yang jelas dari pemerintah terhadap pelaksanaan budaya masyarakat adat)
3. trauma masyarakat terhadap rencana pemberlakuan perda syariah Islam di sulsel dikarenakan banyak luka sejarah yang belum terselesaikan sampai sekarang ini. (sampai sekarang ini belum ada upaya rekonsiliasasi dengan korban DI/TII )
4. tidak ada transparansi yang dilakukan oleh penentu kebijakan kepada masyarakat adat tentang arah pembangunan daerah.
5. modernisasi dan globalisasi, dibeberapa komunitas, menolak pembangunan (teknologi)
6. koflik kepemilikan lahan dengan perusahaan besar
7. pencatatan Administrasi : kependudukan, Perkawinan/Perceraian
8. campur tangan pihak luar sangat besar (pemerintah, partai politik dan investor)

Masalah stigma hampir muncul dari setiap komunitas yang datang, bahkan Ibu dari Bawakaraeng yang memakai jilbab mengaku "saya sudah pakai jilbab pun masih dianggap sesat atau musyrik".
Dari sekian banyak masalah yang mereka hadapi akhirnya setelah duduk bersama dan berdiskusi selama dua hari akhirnya sembilan masyarakat adat ini mempunyai strategi jitu dalam menghadapi masalahnya yaitu:
1. Membangun agenda untuk saling mengunjungi ;
- untuk memperkuat komunikasi dan kekompakan antar kominitas
- Saling mengundang sebagai acara untuk berkumpul menyaksikan acara adat (misalnya : Mappadendang, Mattojang, dll); dalam upaya untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang filosofi adat antar komunitas
- Melakukan musyawarah terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat adat dan mencari solusi dengan dukungan kebersamaan antar komunitas
- Mengundang komunitas diluar sulsel (tapi tergantung kemampuan fasilitas)
2. Ada upaya untuk pengkaderan ditiap komunitas dengan fungsi sebagai humas ditiap komunitas untuk :
- Mensosialisasikan kearifan local komunitas kepada publik untuk mengurangi penilaian/stigmatisasi yang tidak benar.
3. Advokasi terhadap pemerintah dan legislative memperhatikan kepentingan masyarakat adat, misalnya akses jalan, fasilitas dan perawatan semua situs budaya/adat yang ada.
4. Mendorong Advokasi untuk pengakuan dari pemerintah terhadap keberadaan komunitas adat (khusus terkait dengan ibadah/ritual yang dilakukan komunitas)
5. Advokasi untuk penguatan ekonomi masyarakat adat

0 komentar to “Pertemuan Masyarakat Adat se Sulsel”